Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Maret 18, 2018

Mendung

Mendung dilangitmu tempias di dadaku Debu tebal wajah lucu serupa kebodohan selimuti ilmu Hilir air membekas jelas tak habis basuh lagi di pipi-pipi Dari tempatku termangu Amis darah merah di tanah, keluku Bau mesiu cemari paru, tersedakku Dentum meriam sudut keramaian, mengerutku Ambulan tergesa memapah seorang gadis kecil Gadis kecil tergesa memapah keadilan Keadilan tergesa memapah harga dirinya sendiri

Hujan

Hujan di luar, deras sekali. Aku bergegas menghampiri pintu, memutar gagangnya, lalu segera saja duduk di lantai memandangi rintik-rintik yang jatuh di tanah kering, di rumput tumbuh liar yang mulai menguning. Bau tanah, bau rumput, yang baru saja bersukacita melonjak-lonjak riang selepas dipeluk lengan-lengan hujan, selalu saja berhasil membawa kita ke tempat-tempat dimana kita pernah berada. Kini aku hanyut di aliran anak sungai baru yang segera saja tercipta dari genangannya. Terbawa semakin jauh dari sini, hingga akhirnya bermuara di pelupuk mata Ibuku, di basah pipi Nenekku. Aku rindu.   

Pulang

Pagi benar kupergi di sini Menutup rapat pintu Menyeruak malam pasi Setinggi dagu Entah berapa almanak habis kulangkahi Menelusuk pagi mencari diri Kulelah kini, kuingin pulang lagi Setelah tak mendapat apa-apa dari siapa-siapa Ditempatku berdiri kini, dibawah pasu tempat bunga Menyimpan sebenarnya yang kucari

Minggu

Hari ini, Minggu. Artinya; libur. Hari besar kaum buruh. Dipekerjakan waktu sampai nanti sudah tidak bisa apa-apa lagi. Hari ini, Minggu. Bukan hari besar untuk kita, kaum bangkang yang ogah tunduk pada almanak sialan itu, kaum yang berlibur dipinggir saku baju buruh-buruh itu.