Langsung ke konten utama

Postingan

Padanya, Aku Akan Pulang

Derap tapak hujan jatuh di jalanan Tiang telepon dan lengan kaku bangku-bangku taman Berselimut embun, kian kedinginan Lihatlah, lampu-lampu jalan yang kasihan Menghangati tubuh sendiri-sendirian Dan rindu, mendekapku dalam mata Ibu Kemudian cinta, membawanya padamu Perempuan, pada keduanya aku 'kan pulang. Genang kenang mengawang sekarang
Postingan terbaru

Kamu

Dear, kamu. Yang beberapa hari ini selalu mampir dipikiranku... Tahu tidak? Bahwa sejak hari itu, disela waktuku yang selalu banyak senggangnya ini, setiap beberapa menit sekali aku mengunjungi Tuhanku untuk membincangkanmu. Kami membicarakan banyak hal loh tentang kamu. Seperti tadi misalnya, selepas salat Magrib. Diluar hujan turun dengan derasnya. Gemuruhnya berisik sekali jatuh di atap kosanku. Beberapa saat setelahnya hampa mendera, dan segera saja membuat ruang kosong dalam dadaku, memelan degup jantungku, mengingatmu. Ih! Hujan begitu ya! Tega sekali membuat kita tiba-tiba hilang dalam waktu dan ruang. Kupikir-pikir, daripada aku semakin tenggelam dalam tatanan kosmik yang makin rumit saja dalam kepalaku ini, mengapa tidak kuminta lagi saja ya, Tuhanku untuk mengisahkan lagi perihal kamu itu? Ah! Benar juga! Bergegas aku kabur, berlari merunduk-runduk dibawah malam yang hujan ini. Pilar-pilar yang menghunjam dari langit itu berguguran dipunggungku. Tergesa aku menaiki anak de

Persimpangan

Kau dan aku berjalan sebelahan Tersenyum pada hulu jalan Bergandengan masing-masing Meninggalkan kemarin yang asing Tawa dalam suka Lara dalam duka, sama Asa dalam genang senja Binar membias di mata Lalu kini, dahan salah satunya patah Dipisah lidah, selaput antara kita membelah Beri tahu aku, ini mau Tuhanmu Tapi aku yang lebih dulu Jendela kaca pecah, basah dipipi kita sama Sisanya juga sama, kita sendiri-sendiri menyeka Bagaimana nasib mengeja kita Pada titik memisah dua kata.

Hari Ketiga Belas

Hari ketiga belas Tak lurus lagi langkahku gemetar puan Pintu-pintu tutup dipagar tuan Juru adil memelas belas Derap langkah di lembar tua buta Tersandung pula di tunggul lapuk kata Terjerembap waras takdir kencur Bernisan tanya ditanam di kubur Ribu do'a basi saja segera diujung jari-jari Di siapa sebenarnya pinta daku diberi

Mendung

Mendung dilangitmu tempias di dadaku Debu tebal wajah lucu serupa kebodohan selimuti ilmu Hilir air membekas jelas tak habis basuh lagi di pipi-pipi Dari tempatku termangu Amis darah merah di tanah, keluku Bau mesiu cemari paru, tersedakku Dentum meriam sudut keramaian, mengerutku Ambulan tergesa memapah seorang gadis kecil Gadis kecil tergesa memapah keadilan Keadilan tergesa memapah harga dirinya sendiri