Langsung ke konten utama

Nenek

20 Januari, 2012. 7:06pm.

Tanganku merogoh kantong Jeans yang sedang aku kenakkan. Beberapa detik kemudian, aku sibuk mengais-ngais tempat sampah demi mencari sesuatu yang bisa dimakan. #Hloh.. Abaikan!

Akhirnya sentuhan jemariku di permukaan perutnya yang buncit-buncit mungil itu terpaku di sebuah nama yang ditulis secara istimewa.

"Klik..."

Tombol hijau di sisi kiri benda itu aku pencet tergesa.

Yep, tiba-tiba kangen dengan orang-orang terdekat menyergapku..

TUTT...
TUTT...
TUUUTT... Si-apa hendak turu-t, ke Bandu-ng, Suraba.. *sadarkan aku, tolog cubit tetekku*

Kira-kira begitu bunyinya. Atau seperti sebuah tanda yang di tetapkan―semacam fasilitas yang melayani―oleh penyedia layanan sebuah operator telpon seluler di negriku.

Bunyi yang demikian lumayan bikin galau tersebut merasuk relung-relung kupingku, menembus selaput gendang, menjalar-jalar pelan menelusuri gelung-gelung rumah siput, diam sebentar, seperti seorang Dokter ahli bedah merapal beberapa do'a sebelum benar-benar membelah perut pasiennya yang mengidap penyakit encok menahun. Kemudian melesak tajam sederas butir-butir hujan berjatuhan dari langit mengenai tanah. Menghujam gumpalan sebesar genggaman orang dewasa yang tertanam dibawah ubun-ubunku.
Ya! Itulah otak yang bertugas mencerna segala informasi-informasi yang masuk. Semacam server bagi sebuah warnet.

Tak lama terdengar lamat-lamat suara menyahut dari ujung sana:

"Hallo, Assalamu'alaikum.. Ada apa?" Ibuku menyapa. Suaranya khas seperti aku mengenali pasti bahwa itu memanglah suara beliau, anugerah sang pemilik kehidupan.

"Wa'alaikumsalam. Nggak, aku cuman kangen aja, Bu.. Lagi apa? Udah makan?" berondongku.

Setelah mengobrol-ngobrol sebentar tentang ini itu dan lain hal segalamacemnya, lantas...

"Nenek mana? Aku kangen padanya, Bu." Pelanku.

"Ada, tunggu sebentar.." Kedengeran berisik sesa'at yang kerekam mikrofon dari seberang. Panggilan masih tersambung. Benda ajaib tersebut telah berpindah dalam sekejap.

"Assalamualaikum.. Apa kabarmu nak?" Sapa nenekku hangat. Suara itu terdengar sabar dan ramah menjalari syaraf-syaraf, menenangkan di hati. Selalu begitu. Setiap waktu. Tidak pernah tidak.

Ada yang tercekat di tenggorokan. Tak kuat menahan. Ku coba menelan. Tak sampai jatuh. Hanya tergenang-genang hampir tumpah.
____________

"Tadi omonganku bikin nenek nangis.."

Beberapa hari yang lalu.. Masih ku inget jelas bagaimana omonganku telah meremukkan hatinya.
Bagai mana tidak. Seseorang yang beliau rawat, jaga dan harapkan dengan penuh suka cita dan cinta sedari kecil hingga sebesar ini, sampai hati membentak dirinya laksana komandan barisan menghardik pasukannya yang terangguk-angguk menahan kantuk―kurang tidur gara-gara semalem dapet jatah ngeronda―dalem upacara wajib tiep Senin pagi.

Pedih, meninggalkan luka menganga, kecewa dan tak percaya.

Tak hentinya aku merutuk menggumamkan sumpah menyesali semenit lalu. Apa daya, pelatuk telah ditarik, peluru telah lepas meninggalkan selongsong, dan siap menghancurkan segala di depannya.

Aku bersegera bersimpuh di hadapnya memohonkan maaf serta ampun, diridhoi segala peluhnya yang telah lebur membaur di tulang-tulang penyangga tubuhku. Semacam penebusan.

Subhanallah..

Perempuan lembut yang teramat sangat aku cintai ini, begitu putih hatinya, begitu mulia adanya.

Dengan bersungguh-sungguh untuk tidak lagi mengulangi, janjiku telah ditulis, malaikat telah membawanya ke langit. Semoga Tuhan mengingatkanku.

Persoalan:

"Hari Minggu itu berangkat pukul berapa rencananya? Lebih baik agak pagian, karna pikiran masih adem pagi-pagi begitu." Terangnya lembut membuka obrolan.

"Sudahlah, Nek! Jangan bahas-bahas hari yang belum sampai. Lagian siapa tau hari Minggu itu aku udah meninggal!" tajam, sakartis, dan menyinggung takdir. Sebuah pernyataan yang selalu di dengung-dengungkan orang-orang dungu untuk menyembunyikan identitasnya di balik kata-kata setinggi langit! Memalukan dan tak berpendidikan sekali!

Aku masih betah di rumah dan masih belum lunas terbayar kangenku.

____________

"Wa'alaikumsalam, nek. Alhamdulillah, aku sehat. Nenek sendiri?" Tanyaku.

"Alhamdulillah, juga sehat." Balesnya.

"Siang tadi ngapa aja, nek?" Tanyaku lagi.

"Tadi nenek dan ibumu di kebun ngerjain bla bla bla..." Urainya panjang lebar dibalut kehangatan.

Beliau selalu senang menceritakan kepadaku hari-harinya, apa-apa saja yang beliau kerjakan setiap waktu, sepanjang hari, bertahun-tahun.
Menurutku, dengan menceritakannya kepadaku, itu telah lebih dari bahagia di hatinya.

Aku mendengarkan beliau bercerita sambil sekuat tenaga menenangkan, menahan-nahan agar tak pecah tangisku.

Aku sadar, selama ini aku telah menganggap sepi letupan-letupan perasaan yang teramat sangat sederhana yang keluar sebagai kelopak-kelopak bunga kata nan indah dari bibirnya.
Beliau tidak pernah menuntut menetapkan semacam syarat untuk sekedar menyenangkan hatinya.
Beliau hanya memintaku mendengarkan cerita-ceritanya. Itu saja.

"Sekiranya Tuhan mau ngeberhentiin waktu bentar aja buat orang-orang yang gue sayang. Seenggaknya sampai gue pergi duluan."

Aku masih ingin mendengarkan cerita-ceritanya itu setiap hari, sepanjang waktu, selama nafas masih mengikhlaskan dirinya membaur dengan jasadku, memberi kehidupan. Tak perduli mau Tuhan berkata apa.

Biarkan aku pergi lebih dulu dari mereka. Karna aku tak mau kehilangan.

____________

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Persimpangan

Kau dan aku berjalan sebelahan Tersenyum pada hulu jalan Bergandengan masing-masing Meninggalkan kemarin yang asing Tawa dalam suka Lara dalam duka, sama Asa dalam genang senja Binar membias di mata Lalu kini, dahan salah satunya patah Dipisah lidah, selaput antara kita membelah Beri tahu aku, ini mau Tuhanmu Tapi aku yang lebih dulu Jendela kaca pecah, basah dipipi kita sama Sisanya juga sama, kita sendiri-sendiri menyeka Bagaimana nasib mengeja kita Pada titik memisah dua kata.

Hari Ketiga Belas

Hari ketiga belas Tak lurus lagi langkahku gemetar puan Pintu-pintu tutup dipagar tuan Juru adil memelas belas Derap langkah di lembar tua buta Tersandung pula di tunggul lapuk kata Terjerembap waras takdir kencur Bernisan tanya ditanam di kubur Ribu do'a basi saja segera diujung jari-jari Di siapa sebenarnya pinta daku diberi

Kamu

Dear, kamu. Yang beberapa hari ini selalu mampir dipikiranku... Tahu tidak? Bahwa sejak hari itu, disela waktuku yang selalu banyak senggangnya ini, setiap beberapa menit sekali aku mengunjungi Tuhanku untuk membincangkanmu. Kami membicarakan banyak hal loh tentang kamu. Seperti tadi misalnya, selepas salat Magrib. Diluar hujan turun dengan derasnya. Gemuruhnya berisik sekali jatuh di atap kosanku. Beberapa saat setelahnya hampa mendera, dan segera saja membuat ruang kosong dalam dadaku, memelan degup jantungku, mengingatmu. Ih! Hujan begitu ya! Tega sekali membuat kita tiba-tiba hilang dalam waktu dan ruang. Kupikir-pikir, daripada aku semakin tenggelam dalam tatanan kosmik yang makin rumit saja dalam kepalaku ini, mengapa tidak kuminta lagi saja ya, Tuhanku untuk mengisahkan lagi perihal kamu itu? Ah! Benar juga! Bergegas aku kabur, berlari merunduk-runduk dibawah malam yang hujan ini. Pilar-pilar yang menghunjam dari langit itu berguguran dipunggungku. Tergesa aku menaiki anak de